S i s m o n o L a O d e

tiap kata akan terus mengalir

Matinya Hasrat Pembangkang Che Guevara

photomgcozaFOTO-FOTO (baca: image) Che saat ini tidak lagi dipandang sebagai karya seni semata. Nilai-nilai yang membentuk gambar tersebut, sedemikian rupa telah diubah berdasarkan ikon-ikon kebudayaan pop yang sifatnya massal. Dulu, ikon Che dalam sebuah lukisan mempunyai dimensi semangat yang luar biasa. Anak-anak muda, terutama aktivis mengganggap foto/dilukisan Che adalah ikon pembebasan; perlawanan; dan semangat anti terhadap kekuatan kapitalisme yang menindas.

Semangat pembangkangan maupun perlawanan Che Guevara, tentunya tidak lahir begitu saja. Che, demikian ia disapa, merupakan tokoh revolusioner Argentina (yang kemudian menjadi warga Kuba) yang sejak mahasiswa telah menunjukkan dirinya sebagai seorang yang kritis. Tidak hanya itu, sejak ia menjadi dokter dan saat perang Kuba, Che tidak hanya membantu para pasien dalam hal pemberian pertolongan medis, tetapi ia juga angkat senjata, bahkan kemudian dipercaya menjadi salah satu komandan Perang Kuba. Bersama Fidel Castro, mereka berhasil mengusir penjajah dari tanah Kuba. Inilah yang membuat Che menjadi terkenal dan perlawanannya dijadikan ikon, terutama bagi kalangan aktivis anti penindasan kapitalisme.

Lewat foto yang termediakan di pelbagai medium tampak foto Che tersebut mempunyai sejuta aura; daya pesona yang mampu menghipnotis para pengagumnya. Kekuatan magis ini terletak pada keaslian dan ketunggalan objek dan keberadaannya di suatu lokasi tertentu. Dengan kata lain, aura Che, dalam sebuah lukisan telah membuat takjub, ingin menyentuh, sekaligus kita sadar bahwa kita tidak bisa menyentuhnya, hanya karena ada misteri di dalam lukisan Che, sebagai sosok revolusioner. Inilah, menurut penulis, sebagai pesona Che dalam sebuah foto/ikon.

Sebagai bagian dari karya seni, foto Che dalam pelbagai medium telah menampakkan nilai-nilai idealis seorang seniman, dalam hal ini sang fotografer. Dikatakan demikian, karena nilai-nilai yang terkandung dalam foto tersebut telah membuat jutaan orang di dunia ini terinspirasi. Sebagai contoh, pada 1999 hingga 2000, di Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya, banyak para aktivis mengabadikan pesona foto tersebut dengan membeli poster (besar) Che dan memakai T-shirt bergambarkan Che. Saking, tumbuhkembangnya nilai-nilai Che dalam diri para aktivis, membuat kalangan tertentu menggangap nilai-nilai tersebut sebagai ancaman ideologi negara. Ikon Che, adalah petanda dari gerakan revolusioner yang ingin membebaskan rakyat dari keterkungkungan kapitalisme dan untuk konteks Indonesia sendiri, ikon Che kerap dimaknai sebagai bentuk kebangkitan kaum kiri. Oleh karena itu, pemakain ikon ini mendapat tantangan dari kalangan yang masih trauma dengan kekuatan kiri (baca: Partai Komunis Indonesia). Penulis masih ingat sekitar tahun 2000, para kalangan aktivis pecinta Che, termasuk penulis sendiri, agak sangsi berjalan-jalan (ke Malioboro) memakai pakaian yang berikon Che karena sebagian dari komunitas “kiri” yang berpakaian Che pernah dipukuli oleh sekelompok preman, hanya karena mereka dianggap sebagai aktivis yang ingin mengubah landasan negara.

Di titimangsa ini pula, penulis beranggapan bahwa dunia foto (Che) tersebut mampu menghadirkan kembali “wajah dan semangat” Che sesungguhnya. Di sinilah, seorang fotografer berhasil mengangkat sebuah subjek untuk keluar dari konteks historisnya menuju pada potensi yang ideal. Fotografer pun, senyatanya, tidak sekadar merekam ataupun mengabadikan, namun ia mampu menghadirkan momen, sehingga dunia material secara efektif mampu diubah menjadi sebuah manifestasi ide yang menggelorakan orang lain, sebagaimana ditangkap oleh seorang Graham Clarke dalam diskusinya dengan Paul Strand (Rampley, 2005).

Hanya saja, sebagaimana ditegaskan di atas, bahwa sehubungan dengan determinasi teknologi dan konstruksi sosial dan kebudayaan, foto-foto/ikon Che tidaklah mempunyai pesona yang luar biasa magisnya. Dalam bahasa Benjamin (Walker and Sarah Chaplin, 1997: 196-216), bahwa foto tersebut telah berubah fungsinya, karena adanya penemuan teknologi yang mampu memproduksi karya seni secara mekanis. Dengan demikian, foto Che telah mengalami kepudaran pesona karena ikon pembangkangan tersebut telah berubah menjadi ikon budaya pop;budaya massa.

Untuk perkara pudarnya aura seni hanya karena terjadi reproduksi mekanis terhadap karya seni, Adorno dan Benjamin pernah bertengkar. Titik tengkar perdebatan tersebut dimulai dengan tulisan Benjamin mengenai hilangnya aura seni, Das Kuntswerk in Zeitalter seiner technischen Reproduzierbarkeit” (The Artwork in the age of its technological reproducibility). Aura dimengerti sebagai fungsi kultus atau ritual karya seni. Dengan konsep aura ini, Benjamin hendak mengamati pergeseran peran seni dalam sejarah umat manusia. Di masa lalu, dalam masyarakat tradisional, seni berperan memberi basis legitimasi kultural-religius masyarakat tradisional. Aspek legitimasi kultural atau aspek kultus inilah oleh Benjamin disebut sebagai aura atau pesona (Hakim, 2001: 44-45, dalam jurnal Basis).

Derrida (Hakim, 2001: 44-45, dalam jurnal Basis) menyatakan bahwa esai Benjamin ini merupakan sebuah ikhtiar untuk menjawab pertanyaan akan efek-efek politis perkembangan fotografi dan sinema. Reproduksi ini amat terkait dengan perkembangan pasar, aparat politis, optis, dan teknis. Benjamin pun mengukuhkan pendirian ini. Baginya, perkembangan teknik akan memberi peluang besar bagi fotografi;  yang juga berarti membawa pelbagai perubahan secara keseluruhan.

Benjamin menyatakan, pudarnya aura seni dan pendasaran politis terhadapnya menghantarkkan karya-karya seni memasuki suatu wilayah yang lebih luas jangkauannya ketimbang di masa lalu. Karya seni, dengan demikian, ditarik dari dunia esoterisnya menuju wilayah eksoteris; publik, massa, atau masyarakat. Dengan demikian, karya seni dari wilayah esoteris menuju publik ini emnunjukkan bahwa Benjamin hendak mendemokratiskan karya seni. Sementara, di lain pihak, Adorno gamang dengan posisi Benjamin yang berusaha membetot karya seni ke wilayah publik. Adorno memang tak menolak gagasan Benjamin tentang pudarnya aura seni, tetapi ia melihat upaya membetot seni ke publik tersebut menyeret seni ke dalam sistem komoditi masyarakat kapitalis. Akibatnya, institusi kebudayaan hanya akan menghasilkan “budaya industri”, kebudayaan yang bersifat mekanis-instrumental, yang dibangun dengan semangat fasis, sebuah semangat yang menentukan selera konsumen dari atas (Hakim, 2001: 44-45).

Jika persoalan perdebatan tersebut di tarik pada kasus foto/ikon Che Guevara, terutama mengenai peran industri kapitalis, maka kita dapat mengatakan bahwa karya foto Che adalah menjadi bagian dari produksi industri. Foto/ikon Che sudah ditampilkan di mana-mana, sesuai selera pembeli/konsumen. Dengan kata lain, semangat tersebut dijual murah meriah melalui sistem pasar. Foto/ikon Che ditampilkan dalam bentuk kaos, mug, kalender, topi, mata uang, korek gas, gantungan kunci, pernak-pernik lainnya, tas, dompet, logam, dinding halte, tubuh manusia berupa tato, jam dinding, bahkan celana dalam, yang terkadang dengan alasan “penyebaran gagasan”, tetapi massifikasi atas ikon diri Che tersebut merupakan peralihan ikon Che dari seorang pembangkang menjadi ikon budaya pop. Budaya pop atau budaya massa merupakan hasil dari industri kebudayaan yang diproduksi untuk meraih keuntungan semata. Budaya massa diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang dipekerjakan oleh produsen; khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Oleh sebab itu, dalam realitas kebudayaan dewasa ini, tak ada lagi budaya tinggi, agung dan luhur, sebagaimana tak ada lagi budaya rendah atau pinggiran. Budaya tinggi kini telah berubah menjadi komoditi, produk budaya yang dikomersialkan. Sebagaimana dikemukakan Adorno dan Horkheimer (Sindhunata, 1982), industri budaya dapat dimengerti sebagai budaya yang sudah mengalami komodifikasi serta industrialisasi, diatur dari atas (maksudnya kalangan teknisi serta industriawan yang bekerja di media massa, misalnya surat kabar dan stasiun televisi), dan secara esensial memang diproduksi semata-mata untuk memperoleh keuntungan (making profits). Dengan kata lain, industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif komersial, sehingga proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah komodifikasi, standardisasi, serta masifikasi.

Penampilan-penampilan dari medium satu ke medium yang lain ini seolah-oleh gambar/lukisan Che, seolah-olah mengalami perjalanan dan kehidupan sosial sendiri. “Kehidupan sosial” foto/ikon Che tentunya tidak lahir tanpa sebab. Ada banyak alasan untuk mengurai sebab-musabab hal di atas, walau demikian, alasan konstruksi sosial yang kemudian berupaya menguatkan industrialisasi di pelbagai macam karya seni dapat dijadikan alasan yang masuk akal. Sebagaimana dikatakan Becker (1982) bahwa proses proses penciptaan karya seni ditinjau dari perspektif sosiologi terfokus pada dua aspek, sebagai ciptaan kolektif dan individual, yang kedua-duanya merupakan konstruksi sosial yang akan melibatkan berbagai faktor.

Dalam kasus foto/ikon Che ini, perjalanan sosial yang lahir dari konstruksi sosial lewat tangan teknologi dapat dilihat dari rupa Che dalam pelbagai medium. Perubahan ini tentunya melibatkan banyak pihak, termasuk para distributor karya seni, seperti self support, patronage, and public sale (Becker, 1982: 93-119). Oleh karena itu, adanya massifikasi penikmatan foto/ikon Che, kita dapat katakan jika Che tidak lagi mengalami kehidupan sosial dalam lembaran lukisan, tetapi foto/ikon Che telah hidup di atas mug, T-Shirt, topi, dinding, tubuh perempuan, bahkan pada pakaian dalam perempuan, yang semuanya ini tidak dapat dilepaskan dari kuatnya peran industrialisasi karya seni.

Foto (lantas menjadi ikon) Che Guevara pada selembar pakaian dalam perempuan menunjukkan bahwa semangat pembebasan seorang Che tidak lagi melekat dalam dunia idealisme, tapi ikon itu telah ada dalam pakaian dalam seorang perempuan, yang jika dimaknai secara konvensional, menunjukkan ketidakberharganya seorang Che. Demikian juga, ketika Che, menjadi ikon di pelbagai pernak-pernik, seperti gantungan kunci, menunjukkan modus komersial saja, karena apa hubungan pernak pernik yang dijual murahan dengan nilai-nilai idealisme seorang pejuang Che? Belum lagi, kita perhatikan ikon Che dalam sebuah tato, menunjukkan petanda bahwa Che tidak ada bedanya dengan tato-tato lainnya, yang “dipakai” seorang model/orang. Dengan kata lain, Tato bergambar Che hanyalah ingin menunjukkan gaya hidup seseorang, tanpa mau mengaplikasikan cita-cita ataupun spirit yang diperjuangkan Che. Lahirnya aneka rupa medium Che ini, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari perluasan dari konsep Marx mengenai komodifikasi karya seni, yang melibatkan banyak pihak, terutama para kaum kapitalis, sebagaimana diungkapkan Becker (via Zolberg: 1990). Di mana, mereka telah memiliki pelbagai modal—meminjam istilah Bourdieu (1991), baik itu modal simbolik, modal sosial, dan modal ekonomi. Modal-modal ini, kemudian membuat foto/ikon Che lebih bernilai dan digemari oleh masyarakat industrialistik yang telah dipengaruhi gaya hidup modernisme.

Lantas kenapa “perjalanan sosial” foto/ikon Che justru memudarkan ikon Che yang sesungguhnya? Lagi-lagi harus ditegaskan kembali bahwa hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari sistem kapitalisme lewat kekuatan komodifikasi dan inkorporasi. Sebagai sistem yang sangat kompleks dan rumit, kapitalisme kerap melakukan penghisapan dan eksploitasinya yang hampir-hampir tak terlihat. Dengan logika dan otomatisasinya, kapitalisme memiliki kemampuan dalam menyembunyikan dan membalik logika-logika umum sehingga eksploitasi yang dioperasikan yang dilakukannya dalam diri Che selalu tampak logis, lantas direproduksi dalam jumlan yang massif. Akibatnya, Che, yang dulu (setidaknya sejak kebangkitan di awal tahun 1990-an) identik dengan perjuangan gerilya, oposisi radikal, dan gerakkan sosialisme revolusioner telah menjadi simbol budaya pop, alias budaya massa, dimana setiap orang tidak lagi melihat foto tersebut sebagai sebuah karya seni yang ideal, yang mempunyai semangat pembangkangan terhadap segala macam penindasan. Akan tetapi, foto/ikon Che telah menjadi bagian dari objek seni yang bisa dikomodifikasi; mengdatangkan keuntungan. Fenomena ini juga adalah contoh yang menarik untuk melihat bagaimana inkorporasi bekerja: dimana makna figure Che secara revolusioner dibalikkan oleh ideologi yang dominan, dilemahkan dan diambil kekuatan perlawanannya untuk keuntungan status quo, yang sifatnya kapitalistik.

Demikianlah kisah Che dalam pelbagai medium; kisah yang seksi yang terus mengabarkan bahwa di zaman kapitalistik seperti saat ini, hasrat pembangkang Che telah mati bersama jasadnya. Kita sukar menemukan semangat sejati seorang Che. Bukan demikian?

Tabikku.

DAFTAR PUSTAKA

Antariksa, dalam http://www.kunci.or.id/esai/nws/05/inkorporasi.htm.

Becker, Howard S. 1982. Art Worlds. USA: University of California Press.

Bourdieu, Piere. 1991. Language and Symbolic Power. London: Polity Press.

Budiman, Kris. 2005. Ikonitas—Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik

Chaplin, Sarah and John A. Walker. 1997. Visual Culture: an Introduction via Chapter 13:New Technologies. Manchester & New York: Manchester University Press.

Hakim, Abdul. 2001. Seni Auratik vs Seni Politik: Perdebatan Adorno dan Benjamin. Jurnal Basis, nomor 09-10 tahun ke-50, September-Oktober 2001, bertajuk “Estetika Kiri”. Yogyakarta.

Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Piere Bourdieu. Terjemahan. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Lavan, George. 2005. Che Guevara Sang Revolusioner. Yogyakarta: Resist Book.

Rampley, Matthew. 2005. Fotography and Film: Glyn Davis. Edition Edinburg. London: Edinburg University Press.

Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: Gramedia.

Storey, John. 2007. Culture Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif Teori dan Metode. Terjemahan. Yogyakarta: Jalasutra.

Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Yogyakarta: Jalasutra.

Soedjono, Soeprapto. 2006. Pot-Pourri Fotografi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Zolberg, Vera L. 1990. Constructing a Sociaology of Arts. USA: Cambridge University Press.

23 Januari 2009 - Posted by | media and culture studies

4 Komentar »

  1. Salam kenal,

    Terimakasih buat tulisan “Matinya Hasrat Pembangkang Che Guvara” yang sungguh amat inspiratif. Saya juga sungguh terhormat bahwa ternyata buku “belanja” menjadi salah satu referensi yang digunakan. Saya tertarik untuk berdiskusi dengan anda lebih jauh. Terimakasih.

    Salam “saya berbelanja, maka saya ada”,

    Haryanto Soedjatmiko

    Komentar oleh Haryanto Soedjatmiko | 27 Januari 2009

  2. Sippp…..Sebuah Benti kapitalisme membuat kita menjadi akan lupa akan ekstensi sebuah pemaknaan dengan sesuatu hal…

    Perana demi peranan membawa kita untu berpikir instan dimana g ada lagi sifat kritis di pemikiran kita yang mana hanya ada rasa kagum akan sesuatu hal yg belum tentu jelas pemaknaannya..

    Marilah bersama, bersatu, n berjaya mengembalikan peranan n ekstensi akan hal tersebut

    Kanda Izin Q meminta Posting Kryata tentang Che_Guevara?

    Komentar oleh Che ZOEL | 9 Maret 2009

  3. ya…demikianlah budaya pop yang telah dirasuki kapitalisme. Untuk melawan adalah mudah, namun apakah kita telah mempunyai kemampuan?

    Komentar oleh sismono laode | 9 Maret 2009

  4. Empat puluh dua tahun silam, 9 Oktober 1967, Che Guevara tertangkap. Ia dieksekusi secara diam-diam oleh seorang sersan Bolivia, Mario Teran. Pria Argentina berdarah campuran Irlandia dan Basque itu gugur, di tempat ia ditembak secara tidak jantan, di sebuah ruang kelas sekolah berdinding tanah liat. Apa pesan terakhir Che Guevara sebelum ia gugur?

    Kalo nggak keberatan klik aja deh link ini:
    http://kalipaksi.com/2009/10/08/che-guevara-di-antara-kita-yang-ambigu/

    Thanks

    Komentar oleh sofwan.kalipaksi | 9 Oktober 2009


Tinggalkan komentar