S i s m o n o L a O d e

tiap kata akan terus mengalir

Mendefinisikan Indonesia ala JK

Narasi Iklan:

jjkKetika saya bertemu dengan wakil presiden Amerika, Joe Biden, dia berkata kepada saya: Biasanya kalau kepala negara dari negara lain datang ke Amerika, udah pasti deh minta bantuan. Saya (JK) jawab: Wah, Anda keliru, saya datang kepada Anda justru ingin menanyakan, apa yang Indonesia bisa bantu kepada Amerika, sebab negara Anda sedang mengalami krisis.

Iklan politik JK dilanjutkan dengan ucapan yang berbunyi: Ayo, jadilah bangsa yang mandiri. Selanjutnya pada layar kaca terbaca tulisan sebuah kalimat yang berbunyi: Jangan jadi bangsa peminta-minta.

MENJELANG pesta demokrasi lima tahunan riuh rendah iklan politik adalah hal yang biasa. Hanya saja, ritual politik pemilihan presiden 2009 ini cukup asyik dicer­mati, terutama bagaimana cara tiap tim sukses calon presiden menjelaskan visi-misi calonnya me­la­lui iklan politik. Dari tiga calon presiden, penulis, lebih tertarik membahas iklan politik calon presiden Jusuf Kalla, bukan karena, penulis berasal dari dataran Celebes ataupun iklan politik calon presiden lainnya tidak menarik, tetapi lebih disebabkan kreativitas tim sukses JK-Wiranto dalam menyam­paikan pan­dangan politik JK melalui iklan. Ada banyak iklan politik yang disampaikan ke publik, tetapi dari sekian iklan tersebut, penulis merasa lebih tertarik mencermati iklan politik versi JK-Joe Biden[1]. Iklan ini cukup unik karena mengangkat iklan berdasarkan sebuah realitas sosial yang ada, sehingga keberadaan sosok JK, sebagai representasi bangsa Indonesia “sukses” men­definisikan dirinya sendiri, sekaligus bangsanya di tengah definisi normatif bangsa-bangsa Amerika dan Eropa.

Dari narasi iklan di atas, tampak jelas bagaimana sosok Wakil Presiden Amerika Serikat dalam menyambut Wakil Presiden RI, sekaligus mende­finisikannya. Joe Biden berkata, “Biasanya kalau kepala negara dari negara lain datang ke Amerika, udah pasti deh minta bantuan.” Kalimat bernada akrab ini, sungguh mem­perlihat­kan bagaimana cara pandang orang-orang Barat, dalam hal ini direpresentasikan Amerika Serikat (juga Eropa) terhadap orang-orang Timur, dalam hal ini direpresentasikan Indonesia.

Suku kata ‘udah pasti’[2] menunjukkan betapa, selama ini, orang-orang Timur, terutama Asia dan Afrika kerap datang ke Amerika Serikat (AS) hanya untuk meminta bantuan. Seraya mengatakan bahwa AS (juga Eropa) adalah bangsa besar yang harus dimintai bantuan. Superioritas AS tersebut bukanlah hal yang tidak wajar. Selama lebih dari 50 tahun terakhir, AS telah dikenal sebagai bangsa besar, terutama setelah meletusnya Perang Dunia (PD) II[3]. Realitasnya, AS  baru mulai menjadi pemain utama dunia dan menjadi “penguasa” dunia baru 20 tahun terakhir. Kedigdayaan AS atas supermasi ekonomi, politik dan militer ini benar-benar membuat negaranya menjadi kuat dan superior di banding negara manapun, termasuk Eropa.[4]

Mengenai cara pandang bahwa AS (juga Eropa) adalah superior dan bangsa Asia dan Afrika (baca: Indonesia) adalah inferior, ada baiknya kita melihat Edward Said, dalam bukunya bertajuk Orientalism[5]. Melalui pendekatan relasi kuasa Foucault, Said dalam karya monumental ini berhasil menyoroti ketidakseimbangan relasi sejarah antara dunia Islam, Timur Tengah, dan “Timur” di satu sisi, dengan imperialisme Eropa dan Amerika di sisi lain. “Orientalism” menggali pemahaman yang belum diangkat sebelumnya, yakni penjajahan (imperialisme/kolonialisme) sebagai perilaku kultural dan bahkan epistemologis (keilmuan) yang menyertai nafsu untuk mendominasi dan menguasai wilayah-wilayah yang jauh. Orientalisme juga menciptakan streotipe dan ideologi tentang the Orient yang diidentikan dengan the Other, dari the Occident (Self). Dengan demikian, Timur dan Barat merupakan hasil konstruksi (representasi) ide atau gagasan berkaitan dengan realitas sosial budaya. Imaji Barat tentang Timur, kuasa dan pengetahuan saling kait-mengait studi kaum Orientalis.

Memang, menurut Hassan Hanafi, istilah Timur (orient) dan ketimuran (orientalism) memiliki pengertian yang berbeda. Pertama, istilah ‘orientalisme’ sebagai studi wilayah, yaitu studi tentang bahasa, sastra, antropologi, dan sosiologi mengenai dunia Timur. Saat kolonialisme tumbuh subur, dunia Timur umumnya berada pada posisi negara yang dijajah, sedangkan negara seperti Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol, Portugis, dan lain-lain, sebagai representasi Barat,  adalah negara penjajah. Karena itu hampir semua teks-tks sosial-budaya dan agama mengenai dunia Timur yang dihasilkan ilmuwan pada waktu itu disebut kajian ketimuran atau Oriental(is). Kedua, mengacu pada model atau gaya berpikir. Yaitu, gaya berpikir orang Barat dengan gaya berpikir dunia Timur yang berbeda secara ontologis dan epistemologis.[6]

Perbedaan cara berpikir antara Timur dan Barat dapat ditemukan bukan saja pada masa kolonialisme, tapi sampai sekarang, bahkan mungkin terus berlangsung dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia. Tulsi B. Saral[7], misalnya, mengemukakan beberapa kelemahan komunikasi antarbudaya yang bersifat analitik-reduksionis dan kuantitafif antara lain:

  1. Budaya Barat terlalu banyak indra visual dan auditif: ada kemungkinan  perbedaan dalam mengindra stimulasi yang sama dari bangsa yang berbeda;
  2. Fokusnya hampir terbatas pada penelitian yang obyektif-empiris, sehingga menghilangkan cara berpikir mistis.
  3. Terlalu bertumpu pada kebenaran obyektif (objective truth), pandangan dunia yang tunggal serta tidak memahami asumsi-asumsi paradigma yang digunakan.
  4. Pandangan dualistik: memilah secara tegas antara tubuh-jiwa, individu-lingkungan, kesadaran individu-kesadaran kosmis.
  5. Kebanyakan penelitian (studi) didasarkan pada model linier yang mekanistik. Model ini dianggap tidak tepat untuk menjelaskan dan memahami komunikasi antarbudaya yang holistik.

Dari cara pandang superior dan dikotomik di atas, Joe Biden, juga ingin menghadirkan suasana bahwa dia, anak bangsa Amerika adalah pusat segalanya. Melalui kuasa bahasanya, Amerika (terutama AS) telah menjadi simbol “kedigdayaan” suatu ruang dan waktu. “Kedigdayaan” ini tentunya dibangun melalui konstruksi ideologi, terutama melalui penciptaan opini publik media massa dan teks-teks pelajaran, lengkap dengan simbol-simbol kemegahannya, seperti infrastruktur/bangunan yang megah, pusat sosial dan kebudayaan dan peradaban yang “demokratis”, dan sebagainya. Tidak hanya itu, “kedigdayaan” tersebut, yang kemudian menjadi hegemoni.[8]

Sebagaimana dikatakan Henry Levebre, Filsuf Prancis pascamodern, bahwa hegemoni dalam bentuk yang lebih detail lagi, adalah proses penguasaan ruang hidup (lebensraum) oleh kekuatan dominan, dengan tujuan menciptakan kelang­gengan. Hegemoni dalam ruang ditujukan untuk melanggengkan sistem kekuasaan yang lebih maju dari sekedar masalah pemerintahan. Hegemoni dalam ruang publik adalah politik penguasaan ruang konkrit itu sendiri. Ruang hidup tidak mungkin bebas nilai, ia merupakan medan dialog kekuatan-kekuatan dominan. Di mana penguasaan ruang dilakukan dengan menciptakan tanda-tanda (simbol) keberhasilan sebuah ideologi dalam wujud bangunan megah, pertanian, dan pabrik-pabrik adalah wujud keberhasilan suatu ideologi terhadap ideologi lainnya. Penguasaan ruang sebagai media dikemudian waktu akan menjadi medan pertarungan penciptaan opini dan legitimasi publik.

Pandangan ini, tentunya mengacu pada empunya Hegemoni, Antonio Gramsci. To­koh sosialis Italia ini memberikan pandangannya bahwa hegemoni sebenarnya ada­lah praktik dominasi kekuatan pemerintah (state) terhadap publik (people/civic) dengan cara “halus”. Dalam praktik dominasi ini, kelas dominan tidak secara ken­tara menyusun aturan permainan, memaksa, mengajak atau mengontrol kelas terdominasi. Demikian pula kelas terdominasi yang tanpa sadar (unconciusness) dan tanpa paksa (unforceness) mengikuti permainan tadi.

***

PERBEDAAN-PERBEDAAN tersebut di atas adalah hal mungkin untuk melihat bahwa Timur (baca: Indonesia) adalah negara bekas jajahan kolonialis Portugis, Spanyol, Belanda, “Japan”[9], dan Sekutu yang tidak memunyai posisi yang setara dengan Barat (baca: Amerika). Dengan demikian, yang dilakukan, Joe Biden adalah ingin “mengulang” sekaligus “melancarkan” konsep kolonialis baru dengan berupaya menjustifikasi sebuah bangsa berdasarkan paradigma yang dia miliki. Mungkin, bahasa[10] Joe Biden, bukanlah sesuatu yang telah direncanakan; bersifat spontanitas, tetapi “spontanitas” tersebut, setidaknya, adalah representasi emosional dan mentalitas yang telah beruratakar dalam diri orang-orang Barat, tidak terkecuali Joe Biden, yang berupaya mendominasi the other melalui bahasa.

Untungnya, “spontanitas” Joe Biden ini dijawab dengan spontanitas Jusuf Kalla. “Wah, Anda keliru, saya datang kepada Anda justru ingin menanyakan, apa yang Indonesia bisa bantu kepada Amerika, sebab negara Anda sedang mengalami krisis,” jawab JK[11]. Jawaban JK, sekaligus bisa dianggap singnifier sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, JK, sebagai representasi Indonesia (juga Asia) telah sukses melihat (memaknai/signified) dirinya dan “melawan” para­digma Joe Biden. Sikap JK ini, terutama merujuk pada kata yang ditebalkan di atas, seolah-olah mengingatkan kita kepada Hasan Hanafi[12], tentang pentingnya berparadigma oksidentalisme. Hanafi berkeyakinan bahwa pada kenyataannya toh orientalisme sama saja dengan imperialisme, seper­ti kepopuleran imperalisme kultural yang digelar Barat melalui media informasi dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat “kebudayaan kosmo­polit”. Dan bahkan, orientalisme dijadi­kan kedok belaka untuk melancarkan eks­pan­si kolonialisme Barat (Eropa dan Amerika) terhadap dunia Timur (Islam).

Lantas, apakah dengan proyek oksidentalisme ini Hanafi berambisi merebut kekuasaan orientalisme? Tidak! Oksidentalisme hanya ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme orientalis. Menurut Hanafi, “ego oksidentalisme lebih bersih, objektif, dan netral dibandingkan dengan ego orientalisme”. Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam kebu­da­yaan, dalam kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang domi­nan. Dengan demikian, jika dilihat dari proyek oksidentalisme tersebut, JK, jika mungkin tidak berlebihan, dapat dianggap telah berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi dan pusat (kekuatan) dunia, baik pusat ilmu pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat peradaban, dan karenanya menjadi sandaran peradaban lain, sekaligus ingin mengukuhkan keberadaan Timur.

Sikap JK, dalam iklan yang berbaur realitas tersebut, memang asyik untuk dikaji, selain sukses menggambarkan posisi yang setara, jika dilihat dari kacamata poskolonial[13] sebagaimana telah digambarkan di atas, juga mencerminkan suasana kebatinan JK, dalam menginternali­sasi­kan paham nasionalisme keIndonesiaan. Makanya, setelah sekuens itu, iklan tersebut menghadirkan kalimat (sebagai signifier), “Ayo, jadilah bangsa yang mandiri.” Selanjutnya pada layar kaca terbaca tulisan sebuah kalimat yang berbunyi: Jangan jadi bangsa peminta-minta.

Ungkapan di atas, secara vulgar mempertonton bagaimana nasionalime Indonesia ala JK, yang berbasis pada sikap kemandirian bangsa; yang tidak menjadi bangsa peminta-minta[14]. Konsepsi nasionalisme, pada prinsipnya mengacu pada rasa kebangsaan, yakni dimensi sensoris meminjam istilah Benedict Anderson[15] (1991[1983]) Imagined Communities merupakan konsep antro­pologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik. Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi mem­bicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme) itu. Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah.

Dalam konteks Indonesia, sebagaimana ditulis Kenken, bahwa nasio­nalisme kita bersifat Nasionalisme-Kebangsaan. Nasionalisme Kebangsaan Indo­nesia itu berbeda dari etno-race chauvanisme seperti yang dibangun oleh Johann Gottfried von Herder. Ia merupakan pendewasaan dari konsepsi nasio­nalisme sektarian seperti konsepsi `nasionalisme Jawa’ yang dicetuskan oleh Soetatmo Soerjokoesoemo pendiri KOMITE NASIONALISME  JAWA (1918). Nasio­nalis­me Kebangsaan Indonesia juga bukan alat `political legitimacy’ untuk praktek `nasionalisme keagamaan’  seperti yang dianut oleh Zionis Israel. Ia juga berada di atas diferensiasi ideologi politik.

Tetapi keunikan Nasionalisme Kebangsaan Indonesia adalah sifat yang tidak antagonis terhadap fakta multi-etnik, multi-kultur, multi-agama, multi-lingual. Bhinekka Tunggal Ika dan Pancasila mencegah Nasionalisme Indonesia berubah menjadi Fasisme ala Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Bung Karno dalam pidato `Lahirnya Pancasila’ dengan mengatakan “Sila Ke-Bangsaan mengandung unsur kuat Ke-Manusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, tidak akan mungkin meluncur ke arah chauvinisme dan menentang pikiran-pikiran rasialisme”. Dengan demikian, Nasionalisme Kebangsaan Indonesia membuka pintu bagi siapa saja untuk berpartisipasi membangun negara Republik Indonesia tanpa prejudice rasialis, etnis, agama, dan orientasi politik.

Dengan demikian, dalam diri JK, pemahaman nasionalisme, sebagaimana digambarkan dalam iklan di atas, setidaknya merujuk pada prinsip kemandirian. Prinsip ini diperkuat dengan pelbagai iklan politik lainnya, yang rata-rata terinspirasi dari kerja-kerja riil JK sebagai Wakil Presiden ataupun mantan Mentri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat di jaman pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Dalam iklan politik versi yang lainnya tersebut, tim sukses kampanye JK menghadirkan bagaimana pandangan politik JK terhadap keharusan pegawai negeri memakai batik; kesuksesan pembangunan bandara udara Hasanuddin, Lombok, dan Medan, tanpa campur tangan pihak asing; kesuksesan swasembada beras; kesejahteraan rakyat melalui konversi minyak tanah ke gas; kesuksesan menyesaikan konflik di Ambon, Poso, dan Aceh; dan perlunya pemakaian produk dalam negeri yang diasosiasikan melalui merek sepatu JK Collection.[16]

Upaya-upaya penggambaran nasionalisme ala JK ini, tentunya dalam beberapa bersifat politis bahkan bisa dikatakan jauh dari kepentingan ideologis, sebagai sesuatu yang lebih signifikan. Perkara politis ini, tentunya tidak bisa disangkal karena momentum kehadiran iklan ini bersamaan dengan masa kampanye pemilihan presiden 2009. Sehingga, sebagian dari masyarakat, bagi penulis, mungkin melihat iklan ini hanya sebagai produk intertaitmen politik, untuk berupaya menarik perhatian pasar (pemilih, terutama pemilih rasional), demi tujuan akhirnya, yakni memilih pasangan JK Wiranto. Saya, selaku penulis, membayangkan andaikata iklan ini hadir jauh-jauh hari sebelum pemilu, maka sebagaian (besar) dari pengamat (juga penikmat) iklan akan berkata lain. Mereka dipastikan akan melihat JK sebagai sosok yang lebih berbeda, dengan segenap latar belakang identitasnya.

Terlepas dari asumsi-asumsi politis tersebut, bahwa kehadiran iklan politik ini kurang begitu esensial, apalagi menimbulkan sikap kontroversi untuk kalangan tertentu. Akan tetapi, penulis cukup mengapresiasi kreativitas iklan pasangan JK Wiranto, terutama iklan JK-Joe Biden. Iklan ini juga menyuguhkan visualisasi yang begitu memesona, dengan background berwarna merah, putih, hijau, dan biru, sehingga tampak alami akan keindonesiaan; negeri kaya raya yang direbut dengan keberanian dan kesucian hati para pejuang. Dan yang pasti, kibaran merah putih di atas langit biru dan kelugasan bahasa JK dalam performance yang sederhana, diakhir iklan tersebut, menan­dakan (representasi) keteguhan hati dan kesederhanaan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang setara (juga unggul) dengan bangsa-bangsa di dunia lainnya, tanpa ada anggapan siapa bangsa yang superior dan siapa bangsa yang inferior. Dengan kata lain, iklan ini berupaya menghadirkan konsepsi kemandirian bangsa Indonesia; yang lebih terhormat! Tanpa harus tergantung dengan bangsa lain. Bukan demikian?


[1] Untuk saat ini terdapat 15 versi iklan Politik JK Wiranto, lebih lengkapnya tentang iklan politik JK lihat http://www.sahabatmuda.com/home.php/content/jkwiranto/6/video/15/index.html#view

[2] Tanda ‘ (baca: aksen) penulis sengaja untuk konsisten terhadap simbol ‘ dalam kajian semiotika. Tanda ‘ dalam semiotika berarti signifier (penanda).

[3] Sebelum PD II, memang AS adalah bangsa barbar yang dianggap anal bawang oleh Mittelmächte-Jerman. Saat, AS berambisi menguasai Canada, AS mengalami kekalahan perang yang amat telak dan memalukan. Satu-satunya perang “beradab” yang dimenang­kan AS cuma perang kemer­de­kaan yang kemenangannya dibantu Napoleon Bonaparte.

[4] Memang kedigdayaan AS belum masih seumur jagung dan belum teruji apalagi menandingi kedigdayaan Roma ataupun Persia atau yang paling modern adalah Pax Britania, sebagaimana ditulis Paul Kennedy dalam “The Rise and Fall of the Great Powers; untuk lebih jauh lihat juga

http://qnoyzone.blogde­tik.com/index.php/tag/kedigdayaan-amerika-serikatwaham.

[5] Istilah ini dipakai Edward W. Said. Untuk lebih jauh lihat bukunya, Orientalism:Western Representations of the Orient, London: Routledge and Kegan Paul, 1978.

[6] Lihat Hasan Hanafi. 2000. “Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat”. Bandung: Penerbit Paramadina.

[7] Lihat http://tsanincenter.blogspot.com/.

[8] Istilah hegemoni berasal dari kata Yunani yaitu hegeisthai (to lead atau shidouken). Kata ini banyak dipakai oleh para ahli sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan. Artinya, bagaimana kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok berkuasa. Tokoh hegemoni yang terkenal adalah Antonio Gramsci (1891-1937). Analisis hegemoninya merupakan usaha improvisasi terhadap konsep determinasi ekonomi dan kritik terhadap kaum kapitalis. Meskipun analisis hegemoni Gramsci berkisar pada kekuasaan ekonomi, namun konsep hegemoni dapat diperluas ke wilayah sosial dan regional (lihat: Nancy Bonvillain (1993).

[9] Tanda “ diperuntukkan untuk Japan karena negara ini, secara geografis bukan bagian dari dunia Barat, walaupun harus diakui bahwa nalar bangsa Japan bisa dikatakan menyerupai bangsa Eropa dan Amerika Serikat. Hingga saat ini, harus diakui pula bahwa Japan (apalagi China) merupakan dua negara Besar di Asia, yang oleh Eropa dan Amerika diakui sebagai negara yang unggul, bahkan dipandang setara dengan mereka.

[10] Bahasa merupakan gambaran ideologis sebuah bangsa, sekaligus medium untuk menguasai orang lain. Dalam ungkapan yang bertenaga, Jurgen Habermas (via Yudi Latif, dkk., berkata, “Language is also a medium of domination and power.”

[11] Kejadian ini terjadi pada saat kunjungan Wakil Presiden (Wapres) RI, H. Muhammad Jusuf Kalla, ke Amerika Serikat, pada Rabu, (4/2/2009), pukul 10.15 waktu setempat,  di ruang Kerja Joe Biden di West Wing Gedung Putih, Washinton DC, AS. Pertemuan dila­kukan setelah Wapres Kalla menjadi pembicara pertama dalam pertemuan National Prayer Breeakfast (NPB) ke-57 di Hotel Hilton, Washington DC. JK tercatat, sebagai tamu pertama Wapres AS Joe Biden. Sebelumnya, JK telah mengunjungi Asia (Japan) dan selanjutnya, setelah kunjungan ke AS, JK  langsung mengunjungi Eropa. Mengenai pemberitaan ini lihat http://www.detik.com edisi Kamis, (5/3) bertajuk Wapres JK Bertemu Wapres Joe Biden di Gedung Putih; atau lihat juga www.kompas.com, edisi Kamis, (5/2) bertajuk Ketemu Biden Jusuf Kalla Usulkan AS Selesaikan Palestina.

[12] Ibid 7

[13] Teori Poskolonial kini menjadi teori yang seksis, khususnya bagi kajian akademis dunia Timur pada akhir abad ke-20. Teori Poskolonial sering juga disebut sebagai metode dekonstruktif terhadap model berpikir dualis, yang senantiasa memposisikan dua entitas secara biner, diametral atau vis a vis. Lepas dari kontroversi pengertian poskolonial (pos = pasca atau kritik), di sini dapat dipahami bahwa Poskolonial merupakan satu ancangan teoritis untuk mende­konstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum orientalis) yang merendahkan Timur (masyarakat jajahannya). Karena, meminjam pendapat Edward Said, pandangan dan teori-teori yang di hasilkan Barat tidaklah netral dan obyektif, tapi sengaja didesain melalui rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Untuk lebih memahami poskolonialisme baca, Leela Gandhi, 2006, dalam Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta: Qalam,; Ania Loomba, 2005, dalam Colonialism/Poskolonialism, London dan New York: Routledge dan Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor) dalam Hermeneutika Pascakolonial—Soal Identitas—(Yogyakarta: Kanisius, 2004) halaman 11.

[14] Versi kemandirian ini menjadi tema utama dalam iklan politik JK Wiranto dalam kampanye pemilu Presiden 2009.

[15] Benedict R O’G Anderson, dalam Komunitas-komunitas Imajiner: Nasionalisme (terj: Omi Intan Naomi), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999.

[16] Ibid 2.

2 Juli 2009 - Posted by | media and culture studies

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar